Minggu, 20 April 2008

Resensi buku Politik Militer Indonesia 1945 – 1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI



Judul :
Politik Militer Indonesia 1945 – 1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI

Judul asli :
Read to Power : Indonesian military

Penulis :
Ulf Sundhaussen

Penerjemah :
Hasan Basari

Penerbit :
LP3ES

Tebal :
xv + 504 halaman

Tahun terbit :
1988
Cetakan ke-2








Intervensi militer terhadap politik

Intervensi berasal dari Bahasa Inggris yaitu intervene yang berarti campur tangan. Intervensi militer adalah penggantian kebijakan dan kaum pemerintah sipil dengan kebijakan dan kaum militer. Menurut Huntington (hal.442) intervensi militer dalam politik bukan hal-hal militer melainkan politik. Dengan kata lain sistem politiknya berasal dari peraturan-peraturan atau tata cara militer.

Tidak ada satu pun golongan yang menyatakan bahwa mereka melakukan suatu tindakan demi kepentingan mereka sendiri. Landasannya selalu kepentingan nasional. Militer punya kedudukan istimewa dalam menggunakan landasan ini. Mereka berada di luar politik gabungan. Tugas mereka adalah tugas negara, dan keberadaannya memang dimaksudkan khusus untuk membela negara.

Lembaga kemiliteran merupakan simbol kemerdekaan dan kedaulatan yang paling menonjol. Lebih dari lembaga-lembaga masyarakat lainnya, lembaga kemiliteran diliputi oleh ide nasional. Setiap latihan militer menekankan identitas nasional dan patriotisme. Jadi apabila mereka mengintervensi dengan alasan kepentingan nasional, orang lebih mudah percaya.

Pada beberapa negara berkembang yang belum stabil, memang keterlibatan militer dalam pemerintahan dan pembangunan sulit dihindari. Terutama pada negara-negara yang baru saja merdeka dari penjajahan atau pendudukan negara lain. Misalnya Irak. Beberapa ilmuan memandang bahwa keadaan yang terjadi di Irak merupakan tahapan awal untuk modernisasi dan pembangunan politik diwilayah tersebut.
Terdapat suatu kebiasaan yang berkepanjangan yaitu dengan melakukan kudeta atau intervensi militer yang berulang-ulang dalam negerinya. Misalnya Thailand. Selama 65 tahun sejak 1932 hingga kini (2008), militer di Thailand tetap menjadi kekuatan yang berperan penting dalam kehidupan negaranya. Menurut koran SINDO (30/12 2008), militer disana tidak kurang dari 24 kali melakukan kudeta.

Dengan menggunakan pendekatan kekerasan fisik dan unsur-unsur militeristik
lainnya, TNI leluasa merampas hak-hak masyarakat sipil, khususnya berhubungan dengan hak mengemukakan pendapat, berkumpul dan berserikat.

Kesempatan untuk intervensi datang apabila pemerintah sipil terlalu bergantung pada militer, ataupun ketika negeri dilanda krisis, dan kesempatan militer untuk intervensi dapat juga timbul karena vakumnya kekuasaan. Berkurangnya dukungan masyarakat terhadap pemerintah, dan bertambahnya harapan pada militer, menciptakan kesempatan bagi militer untuk konsolidasi (memperkuat) pengaruhnya dalam kekuasaan negara.

Dalam suasana yang kondusif untuk mengembankan demokrasi, kudeta merupakan tindakan yang memalukan karena hal itu adalah cara-cara yang
tidak sah dan inkonstitusional merebut kendali kekuasaan (Alfan Afian, 2000).


Artinya : “(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (Q.S Ali Imran : 76)


Islam memang tidak menekankan pembedaan dan pemisahan institusi sipil dan militer. Tapi, itu tidak berarti Islam menganggap keduanya sama atau satu. Dalam Alquran dan hadis, dan juga dalam karya-karya fukaha terdahulu, ditemukan bahwa hanya pemerintah sah yang berhak memimpin umat (nasional-m@polarhome.com diakses tanggal 2 April 2008). Alquran secara tegas menyebutkan bahwa baghi (pemberontakan melawan pemerintah sah) adalah haram. Demikian juga kudeta.

Artinya : “orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Q.S At-Taubah : 123)

Namun menurut Armein Daulay, sistem politik yang dikuasai militer itu tidak menyalahi aturan apabila rakyatnya merasa cocok dan menerima cara itu. Seperti menerima Soeharto sebagai presiden karena rakyat telah lelah mengalami stagnasi ekonomi pada massa Soekarno. Walaupun perebutan caranya dengan menggunakan supersemar (kudeta tak berdarah).

Dalam kultur politik rendah, Intervensi militer berlangsung secara terang-terangan. Baik penggeseran anggota kabinet sipil maupun penggusuran seluruh kabinet sering dilakukan. Itulah yang terjadi di Pakistan. Militer secara sengaja tidak melindungi pemerintah sipil terhadap kekerasan. Mereka mengancam tidak mau bekerjasama. Sesekali mereka juga menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya.

Pada tahun 1999 Jendral Musharraf mengambil alih kekuasaan melalui kudeta yang melengserkan Perdana Menteri Nawaz Sharif. Tahun 2001 Musharraf resmi diangkat sebagai presiden Pakistan. Selama masa jabatannya, ia berulang kali memanfaatkan Dinas Rahasia (MI) untuk merekayasa hasil pemilu sehingga ia dapat mempertahankan kedudukannya (www.ensiclopedia.com diakses tanggal 2 April 2008). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kultur politik yang sangat rendah tidak mempedulikan legitimasi. Intervensi militer berlangsung secara terbuka, intensif, dengan metode dan tipe rezim yang sama seperti pada masyarakat kultur politik rendah.


Campur tangan militer terhadap politik di Indonesia
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya. Namun demikian, tidak berarti dalam prakteknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan bisa memberi perhatian sepenuhnya pada pembangunan bangsa. Faktor kemerdekaan menjadikan awal keterlibatan militer Indonesia dalam peran politik.
Pada tanggal 10 November 1946 diadakan perundingan antara Belanda-Indonesia didaerah Linggarjati (sebelah selatan Cirebon) yang membuahkan suatu perundingan yang bernama Perundingan Linggarjati. Hasil perundingan tersebut adalah:
a)Belanda mengakui secara de facto (nyata) Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura.
b)Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
c)Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda. (Muchtar S.P, 1999:52)

Namun, hasil dari Perundingan Linggarjati tidak dilaksanakan dengan baik, karena Belanda berpendapat bahwa sebelum RIS terbentuk, hanyalah Belanda yang berdaulat penuh diseluruh Indonesia dan pemerintah RI berpendapat bahwa sebelum anggota RIS terbentuk kedudukan de facto RI tidak berubah. Oleh sebab itu, Belanda dua kali melancarkan agresi yaitu agresi militer Belanda I (21 Juli 1947) dan agresi militer Belanda II (8 Desember 1947).

Ketika agresi militer Belanda II berhasil melumpuhkan pemerintah sipil dengan menahan presiden, wakil presiden dan beberapa perdana menteri, maka untuk memperahankan eksistensi NKRI, TNI membentuk pemerintahan darurat militer untuk mengganti operasionalisasi pemerintahan sipil yang lumpuh.

Saat itu kebijaksanaan diplomasi sudah mati dan kabinet tidak mampu lagi untuk menyelesaikan konflik dengan cara politik, maka negara harus mengandalkan tentara untuk menyelesaikannya secara militer. Maka para perwira menyusun strategi militer yang tak hanya akan mencegah Belanda mencapai kemenangan militer tapi yang pada akhirnya akan memaksa Belanda untuk mengalah. Dan perjuangan mereka dibidang militerlah yang pada akhirnya memaksa Belanda untuk mengakui kemerdekaan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar pada 23 Agustus 1949 di Den Haag, Belanda.
Militer Indonesia membentuk dirinya sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda. Perjuangan mendapatkan kemerdekaan membuatnya melakukan kegiatan keseluruhan, tidak hanya bertempur secara fisik akan tetapi terlibat dalam penyusunan strategi pendirian bangsa Indonesia. Namun setelah kondisi kembali normal, TNI menyerahkan kembali fungsi pemerintahan sipil itu.
Semenjak tahun-tahun pertama Republik Indonesia berdiri, para perwira militer Indonesia sebenarnya sudah mempunyai kecenderungan untuk berpolitik sebagai prajurit revolusioner. Kecenderungan ini semakin kuat setelah pada tahun-tahun berikutnya mereka harus mengatasi bukan hanya ancaman dari luar ( Belanda ) tetapi juga mengatasi peristiwa politik yang kritis, yaitu pemberontakan komunis di Madiun pada tahun 1948.
Penggalan sejarah kemerdekaan menjadi legitimasi menjadikan militer tidak hanya menjadi instrumen pertahanan bangsa dari gangguan kekuatan luar, akan tetapi menjadi bagian penting dalam Indonesia political decision making. (www.kontras.com diakses tanggal 2 April 2008).
Di Indonesia campur tangan politik militer ke dalam wilayah politik sudah terjadi sekian lama dan pada kenyataannya memang menyebabkan proses demokratisasi menjadi terhambat bahkan mati.

Salah satu upaya yang ditempuh untuk membangun demokrasi adalah menjauhkan kekuatan militer dari urusan-urusan politik, mengembalikannya ke barak, dan menjadikannya sebagai alat negara yang profesional. Tetapi, pada kenyataannya, upaya ini bukanlah sesuatu yang mudah. Terutama di negara-negara sedang berkembang, militer menampakkan hasrat yang sangat kuat untuk tetap melakukan intervensi politik. Militer dengan pengetahuan dan keahlian profesionalnya menjadi pelindung tunggal negara. Sebab itu, di negara-negara yang telah maju, militer berada di bawah supremasi sipil.

Sistem politik yang telah mapan, pendapatan per kapita yang tinggi, tingkat industrialisasi yang tinggi, ditambah dengan kesadaran politik dan hukum rakyat yang tinggi telah mengurangi kemungkinan terjadinya intervensi militer. Hal ini bukan berarti bahwa di negara-negara maju tidak ada keikutsertaan militer dalam politik. Militer tetap ikut berpolitik dalam proses pembuatan kebijakan politik, seperti pembuatan kebijakan politik luar negeri dan pertahanan.

Militer juga ikut dalam mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara maju, seperti aktivitas sosial untuk menanggulangi bencana alam atau bencana lainnya. Namun demikian, kadar keikutsertaan militer dalam politik itu amatlah rendah. Keikutsertaannya dalam bidang-bidang nonmiliter hanyalah menjalankan fungsi bantuan yang bersifat sementara dan dalam kondisi darurat. Jadi, militer sangat diperlukan dalam sebuah negara. Negara kuat jika mempunyai kekuatan militer yang hebat dan bisa diandalkan. Tetapi kekuatan militer ini berada dalam frame work sebagai alat negara yang profesional yang tidak turut campur dalam masalah-masalah politik dan menyerahkan sepenuhnya menjadi otoritas sipil.

Menurut UU TNI pasal 2 ayat (4), Jati diri Tentara Nasional Indonesia adalah : Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa militer tidak diperkenankan untuk berpolitik praktis. Tetapi sesuai UU TNI Pasal 7 ayat (2), yang berisi bahwa tugas pokok TNI adalah operasi militer selain perang, yaitu beberapa diantaranya adalah untuk mengatasi gerakan separatis bersenjata dan mengatasi pemberontakan bersenjata. Dalam hal ini, militer tidak dapat disalahkan untuk campur tangan dalam perpolitikan negara. Sebagaimana yang disampaikan oleh Claude Welch dan Arthur Smith, bahwa pada dasarnya tidak ada angkatan bersenjata yang tidak berpolitik. Tiap angkatan bersenjata mempunyai saham dalam sistem politik negaranya.

kekurangan dan kelebihan buku politik militer Indonesia :
A.Kelebihan buku
secara umum tampilan buku ini sangat menarik, cerita penulis tentang sejarah perpolitikan Indonesia yang dilakukan oleh militer sejak zaman pra-kemerdekaan dari awal secara berurutan.
Buku ini berusaha mengembangkan pemikiran pembaca untuk dapat berpikir rasional dan kritis.
Buku ini menyertakan beberapa kutipan tulisan dan artikel dari beberapa tokoh pergerakan serta surat kabar dan buku-buku yang masih relevan pada saat buku ini ditulis.
Dengan membaca buku ini, kita diajak menjelajah sejenak pada awal masa kemerdekaan Indonesia ketika militer melakukan intervensi terhadap perpolitikan Indonesia.
Dalam buku ini (hal. 442), penulis memodifikasi teori Huntington dan Finer dengan menawarkan penjelasan bahwa hubungan sipil-militer itu kurang demokratis.
Penulis mengembangkan pendekatan dengan menelusurinya didalam dan luar negeri, dengan mereview persoalan-persoalan teoritis dilapangan dan menganalisa berbagai strategi melalui perspektif kaum sipil.

B.Kekurangan buku
Buku ini dapat dikategorikan sebagai buku yang mempunyai materi berat dan berbobot. Tidak semua orang langsung dapat mencerna isi dari buku ini.
Dalam buku ini terdapat istilah-istilah asing yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sehingga dapat mengurangi tingkat pemahaman pembaca. Beberapa diantaranya yaitu Zulfalls-regierungen (hal.58), fait accompli (hal.464), psywar (hal.153), primus inter pares (hal.296), dan sikap reichswehr (hal.156).

Buku “Politik Militer Indonesia 1945 – 1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI” ini sudah tidak relevan lagi di Indonesia sejak bergulirnya pemerintahan Soeharto (1998). Meskipun kini (2008) Militer sudah tidak punya lagi kemauan maupun kemampuan untuk terlibat lagi dalam praktik politik praktis, apalagi untuk kembali berkuasa dan mendominasi seperti terjadi di masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Suasana saat ini juga sudah tidak lagi memungkinkan militer kembali berkuasa mengingat keadaannya sudah jauh lebih terbuka dan transparan jika dibandingkan dengan di masa lalu.

Datangnya era reformasi (1998) merupakan peluang untuk membenahi TNI secara lebih tepat dalam tatanan kehidupan nasional bangsa Indonesia. Untuk itu TNI melakukan reformasi internal sebagai bagian dari reformasi nasional, yaitu dengan melaksanakan tiga komitmen TNI. Pertama prinsip supremasi sipil yaitu TNI hanya bagian sistem demokrasi yang harus dibangun. Kedua prinsip pemberdayaan fungsi-fungsi yang ada yaitu TNI melepas dominasinya dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa, dan terakhir prinsip supremasi hukum.

Prasyarat utama untuk mewujudkan demokrasi adalah menghapus seluruh pranata militer yang dikenal sebagai dwifungsi ABRI dan struktur teritorial militer. Secara resmi, alasan untuk menghapus kedua hal itu tertuang dalam TAP MPR Nomor VI tahun 2000 tentang Pemisahan Institusi TNI dan Polri yang menyatakan bahwa : “peran sosial politik dalam Dwi-fungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI dan POLRI yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.”

Sekarang format hubungan sipil-militer berangkat dan dilandasi nilai moral dan sikap mental yang mencerminkan saling menghargai, saling mempercayai dan kehendak yang kuat untuk bekerja sama. Militer menghargai kewenangan sipil, tunduk kepada hukum dan sistem nasional, serta bersikap non partisipan dalam arti tidak memihak salah satu parpol dan tidak melibatkan diri dalam politik praktis. Sebaliknya sipil menghargai tentara nasional sebagai komponen yang sah dalam negara demokrasi; menghargai dan mendukung peran dan misi TNI; memahami masalah pertahanan dan budaya militer; tidak mencampuri operasional dan manajemen internal ketentaraan; dan merasa memiliki tentara nasional.

Walaupun presiden Indonesia saat ini (Susilo Bambang Yudhoyono) seorang mantan militer. Namun beliau tidak menerapkan militerisasi dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu disebabkan karena katika ia berada dalam militer, ia menerapkan militerisme akan tetapi ketika ia menjabat sebagai kepala negara, ia dapat bersifat netral (bersikap profesional).

Jika reformasi nasional telah menjadikan tiga komitmen TNI tersebut berfungsi dengan baik, tentu tidak perlu muncul kekhawatiran adanya intervensi, apalagi kudeta militer di negeri ini. Hal itu karena komitmen reformasi internal dan netralitas TNI cukup jelas. Sementara, produk perundang-undangan yang ada juga menutup peluang kembalinya TNI dalam politik praktis. Jadi dapat dikatakan bahwa progres reformasi nasional dalam membangun sistem politik, hukum dan demokrasi yang kokoh merupakan benteng utama untuk menepis kekhawatiran dan keraguan bangsa ini.

Meskipun saat ini di Indonesia, militer tidak lagi melakukan intervensi terhadap politik. Tetapi ada suatu budaya perpolitikan Indonesia yang baru yaitu adanya pergeseran peran ulama menjadi politisi. Tidak hanya itu, kini beberapa artis ibukota pun berlomba-lomba untuk melakukan politik praktis. Contohnya seperti, Dede Yusuf, Mat Solar, Rieke Dyah Pitaloka, Rano Karno dan Adjie Masaid.

Banyaknya artis yang masuk atau berpindah partai politik hanya merupakan pertunjukan politik yang mengandalkan popularitas figur sehingga tidak akan berguna bagi masa depan partai. Gejala ini merupakan siasat mencari dukungan terhadap parpol dengan mengandalkan popularitas figur yang dikenal masyarakat karena artis selama ini memang memiliki nilai tinggi yang diharapkan mampu mempengaruhi masyarakat khususnya menyalurkan aspirasi politik mereka.



Tidak ada komentar: