Kamis, 08 Mei 2008

Darul Ahdi, Darul Islam dan Darul Harbi

PENDAHULUAN



Menurut Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) pembagian wilayah dimuka bumi hanya ada dua bentuk, yaitu Darul Islam dan Darul Harbi. Tetapi Imam Syafi’i menambahkan satu lagi yakni Darul Ahdi.


Darul Harbi, Darul Ahdi dan Darul Islam merupakan bagian dari bahasa politik Islam, hari ini terasa asing dalam khazanah pembicaraan kaum muslimin bahkan banyak diantaranya yang menghindari istilah-istilah tersebut karena dianggap ‘trade mark’ suatu gerakan tertentu yang pernah melakukan perlawanan senjata, baik terhadap Belanda maupun terhadap Republik Indonesia. Sejarah sebagai himpunan ingatan masyarakat atas apa yang terjadi, dengan berbagai penafsiran subjektif pihak-pihak yang mengalaminya, ikut mempengaruhi tergelincirnya makna istilah “Darul Islam” dari maksud yang sebenarnya.


Dalam kenyaataan sejarah terdapat pengertian perbedaan antara Darul Harbi, Darul Ahdi dan Darul Islam. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya peperangan antara umat Islam dan bangsa-bangsa lainnya diawal kemunculan Islam sampai ke zaman Turki Usmani. Oleh karena itu, para ulama membagi negara-negara tersebut sesuai dengan sifat pemerintahan, rakyat dan hukum yang ada di negara itu.


Dikalangan masyarakat Indonesia, kata “Darul Islam” tidak lagi diartikan sebagai istilah ilmiah, tetapi sudah menjadi hal yang menakutkan dan harus dihindari. Hal ini disebabkan karena gagasan yang berkembang dimasyarakat dipengaruhi oleh perilaku individu atau kelompok yang dianggap sebagai orang darul Islam. Padahal bila dikaji secara ilmiah, istilah “Darul Islam tidak semenakutkan itu, dan istilah ini merupakan bagian dari cita-cita politik Islam.


Penulis ingin mengemukakan istilah-istilah tersebut dari sisi ilmiah, sabagai istilah baku politik Islam. Sumber utama diperoleh dari pustaka dan artikel dalam media internet. Semoga paparan ini menjadi penyeimbang atas informasi yang berkembang dan cenderung tidak ilmiah serta penuh dengan tuduhan.














BAB I

Negara Islam (Darul Islam)



Munawir Sjadzali, secara lengkap membagi tiga pandangan Muslim tentang negara yang satu sama lain berbeda, yakni :


Aliran tradisional (integralistik), paham yang berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata Agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Islam menurut paham ini, adalah agama yang sempurna dan lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan bernegara. Dalam Islam terdapat aturan serba lengkap, termasuk mengenai sistem ketatanegaraan atau politik. Sistem negara dalam Islam harus meneladani sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan al-khulafa al-Rasyidin. Oleh karena itu, umat Islam hendaknya kembali pada sistem ketatanegaraan Islam dan tidak perlu bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat.


Aliran sekuler (reformis-sekuler), kelompok ini menyatakan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan, bahwa Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia untuk menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah bertujuan mendirikan dan mengepalai suatu negara.


Aliran reformis-modernis, bahwa dalam Islam memang tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat nilai tata etika bagi kehidupan bernegara. Ketiga aliran tersebut mempunyai pertautan dengan pemikiran Revivalisme Islam, Modernisme Islam, Fundamentalisme Islam, maupun dengan gerakan salafiyah diera klasik dan modern, disertai berbagai varian dari berbagai aliran dalam Islam yang pusparagam tersebut.


Khusus mengenai negara Islam sendiri, sebagai sebuah konsep dan kenyataan sejarah, dikalangan muslim juga terdapat banyak pandangan. Selain karena dasar pandangan yang berbeda sebagaimana dikemukakan tentang tiga aliran dalam memandang negara atau politik, fakta sejarah juga menunjukkan adanya keragaman bentuk pemerintahan dalam dunia Islam dimasa silam. Pada masa Nabi dan al-khulafa al-Rasyidin bagi kalangan Sunni dipandang sebagai dasar suri teladan yang ideal dalam ketatanegaraan Islam, yang didalamnya agama dan kekuasaan bersatu dalam pemerintahan berdasarkan hukum Islam. Tetapi realitas sejarah sesudahnya juga menunjukkan bahwa sepanjang kekhalifahan Bani Umayyah (661-750 SM) dan Bani Abasiyyah (750-1258 SM) tidak mencerminkan negara Islam ideal sebagaimana zaman nadi dan al-khulafa al-Rasyidin, yang lebih menunjukkan ciri imperium dalam Islam.


Rasulullah saw bersama-sama dengan para sahabatnya, pada tahun pertama Hijriah (622M), telah membuat suatu “Perjanjian Masyarakat” (Kontrak Sosial) dengan seluruh penduduk Madinah dan sekitarnya, baik yang muslim maupun nonmuslim. Perjanjian masyarakat ini dikenal dengan nama Piagam Madinah atau “Piagam Nabi Muhammad saw”. Piagam Madinah dibuat secara tertulis, secara historis piagam itu merupakan “Perjanjian Masyarakat” tertua didunia. Kesepakatan ini memaparkan secara gamblang dan eksplisit ide-ide tentang format awal negara islam.

Cabang – Cabang Pembagian Negara Islam

Terkadang muncul istilah istilah khusus tentang pembagian negara Islam secara parsial pada kitab-kitab Ulama seperti :

1. Daarul Baghyi yakni negeri yang mana sebuah kelompok bughat (pemberontak) atau khawarij menyendiri pada suatu wilayah di dalam negara Islam dan mereka independen menjalankan hukum-hukum di sana. kebalikan dari darul baghyi ini adalah Daarul Adl suatu negeri yang berada dibawah kekuasaan Imam kaum muslimin.

2. Daarul Fusqy yakni manakala kefasikan merata di suatu wilayah dalam negara Islam. Berkata Syaukani: “Ja’far bin Mubasy-syir serta sebagian kalangan Hadawiyah berpendapat akan wajibnya hijrah dari Daarul Fusqy (negeri penuh kefasikan) dengan menqiyaskan kepada negara kafir. Padahal ini merupakan qiyas dengan sesuatu yang berbeda. Maka yang benar adalah tidak wajibnya hijrah dari Daarul fusqy sebab ia tetap sebagai Negara Islam (Naiul Author 8/179)

Saya katakan: akan tetapi dianjurkan meninggalkan negeri yang banyak tersebar di dalamnya kemaksiatan sebagaimana pada hadits tentang pembunuh seratus orang. Dalam hadits tersebut, orang itu diberi tahu oleh orang alim tentang upaya yang membantunya untuk taubat adalah berpindah dari negerinya yang telah ia sifatkan sebagai negeri yang buruk dan supaya ia pergi ke negeri yang terdapat di sana orang-orang saleh yang bersama mereka ia dapat beribadah kepada Allah.

3. Daar Ahli Dzimmah yaitu negeri yang bukan Daarul ‘Ahdi atau Daarul Sulhi (negara yang mengikat perjanjian damai dengan Daulah Islamiyah) yang keduanya termasuk bagian dari negara kafir. Adapun Daar Ahli Dzimmah maka ia adalah negara Islam sebagaimana Khaibar setelah ditaklukkan kaum Muslimin pada masa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Sifat Daar Ahli Dzimmah adalah sebagaimana yang dikatakan Muhammad bin Hasan Rahimahullah ;”Jika amir pasukan mengepung penduduk salah satu kota musuh lalu sebagian mereka menyatakan kami menyerah dan yang lain menyatakan kami menjadi ahli Dzimmah dan tetap berada ditempat tinggal kami. Jika kaum muslimin mampu menjadikan bersama mereka orang yang mampu memerangi Ahlul Harb yang ada pada mereka dan memberlakukan pada mereka hukum Islam maka amir tersebut harus melakukannya”. Berkata pensyarah Sarkhasyi : “Sebab memberlakukan hukum-hukum kaum muslimin di negeri mereka (Kafir) masih bisa dan negeri tersebut menjadi negeri kaum muslimin lewat pemberlakuan hukum-hukum kaum muslimin. Maka Imam menjadikannya sebagai negara Islam dan penduduknya sebagai ahlu Dzimmah, (Sair Kabiir 5/2196-2197). Demikian penjelasannya. Maksud penyebutan bagian - bagian ini adalah dalam rangka mengenalkan pada pelajar jika mereka mau membacanya pada kitab-kitab yang mu’tabar.

BAB II

Negara kafir (Darul Harbi atau Darul Kufri)


Daarul Harb (negara kafir syah secara syar’i diperangi) yaitu negara yang tidak ada antara ia dengan negara Islam suatu ikatan perjanjian damai maupun perjanjian gencatan senjata dan tidak mesti disyaratkan negara tersebut melancarkan peperangan (terhadap Islam dan kaum Muslimin) untuk definisi ini. Bahkan sudah cukup dengan tidak adanya ikatan perjanjian damai dengan nagara Islam sebagaimana yang telah kami sebutkan. Dalam artian, sah bagi kaum muslimin memerangi penduduk negara ini kapan saja mereka mau. Dari sinilah negeri itu dinamakan Daarul Harb (Negeri yang syah secara Syar’I untuk diperangi).

Daarul kufri adalah negeri-negeri yang tunduk kepada pemerintahan kafir dan negeri kafir. Dibawah ini disebutkan beberapa pendapat para ulama dalam masalah ini :

Imam Ibnul Qayyim berkata,” Mayoritas ulama mengatakan bahwa Daarul Islam adalah negara yang dikuasai oleh umat Islam dan hukum-hukum Islam diberlakukan di negeri tersebut. Bila hukum-hukum Islam tidak diberlakukan, negara tersebut bukanlah Daarul Islam, sekalipun negara tersebut berdampingan dengan sebuah Daarul Islam. Contohnya adalah Thaif, sekalipun letaknya sangat dekat dengan Makkah, namun dengan terjadinya fathu Makkah ; Thaif tidak berubah menjadi Daarul Islam.” [Ahkamu Ahli Dzimmah 1/366, Ibnu Qayyim, cet. Daarul Ilmi lil malayiin, 1983 M].

Imam As Sarkhasi Al hanafi rahimahullah mengatakan, “Menurut Abu Hanifah rahimahullah, sebuah negara berubah menjadi Daarul harbi dengan terpenuhinya tiga syarat, yaitu Pertama. Negara tersebut berbatasan langsung dengan Daarul kufri. Antara negara tersebut dengan Daarul harbi tidak diselingi oleh sebuah negara kaum muslimin. Kedua. Di negara tersebut tidak ada lagi orang Islam yang hidup aman dengan jaminan keimanan atau orang kafir dzimmi yang hidup aman dengan jaminan dzimmah. Ketiga. Penduduknya memberlakukan hukum-hukum syirik di negara tersebut”. Menurut pendapat Abu Yusuf dan Muhammad (bin Hasan) rahimahumallah, jika penduduknya memberlakukan hukum-hukum syirik di negara tersebut, negara tersebut telah berubah menjadi Daarul harbi. Karena sebuah wilayah itu dinisbahkan kepada kita (umat Islam) atau kepada mereka (kaum kafir) berdasar faktor kekuatan dan dominasi. Setiap wilayah dimana hukum syirik mendominasi, maka kekuatan di wilayah tersebut berada di tangan orang-orang musyrik, sehingga otomatis negara tersebut merupakan Daarul harbi. Sebaliknya, setiap wilayah di mana yang berlaku adalah hukum-hukum Islam, kekuatan akan berada di tangan kaum muslimin.” [Al Mabsuth, 10/114, As Sarkhasi, cet. Daarul ma’rifah]. Kedua murid senior Imam Abu Hanifah menjadikan faktor dominasi (kekuatan) dan hukum-hukum yang berlaku, sebagai standar penetapan sebuah negara.

Para ulama tidak menjadikan syarat-syarat yang disebutkan oleh Imam Abu Hanifah sebagai standar penamaan sebuah Daarul Islam, bahkan kedua murid senior beliaupun, Qadhi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy Syaibani, turut menyelisihi pendapat beliau, sebagaimana disebutkan oleh Imam As Sarkhasi. Hal ini juga disebutkan oleh Imam ‘Alau-din Al Kasani, di mana beliau menyebutkan alasan kedua murid senior Imam Abu Hanifah dengan mengatakan,” Sesungguhnya setiap negara itu dinisbahkan kepada Islam atau kekafiran. Sebuah negara hanya dinisbahkan kepada Islam jika hukum-hukum yang diberlakukan di negara tersebut adalah hukum-hukum Islam. Sebaliknya, sebuah negara dinisbahkan kepada kekafiran manakala hukum-hukum yang diberlakukan di negara tersebut adalah hukum-hukum kafir. Sebagaimana anda menyebut surga dengan istilah daarus salam, dan neraka dengan istilah Daarul Bawar, karena di surga ada salam (keselamatan) dan di neraka ada bawar (kesengsaraan). (Alasan lainnya adalah) juga karena Islam atau kekafiran itu mendominasi manakala hukum-hukum Islam atau hukum-hukum kekafiran mendominasi.” [Bada-i’u Shanai’ 9/4375, cet Zakaria Ali Yusuf]. Imam Al Kasani menyebutkan bahwa standar penilaian status sebuah negara adalah hukum-hukum yang berlaku di dalamnya.

Imam Ibnu Qudamah Al Hambali juga mengkritik syarat-syarat Imam Abu Hanifah. Beliau mengatakan,” Kapan saja penduduk sebuah negeri murtad dan di negeri itu berlaku hukum-hukum mereka, negeri tersebut berubah menjadi Daarul harbi, (maka hukum-hukum atas Daarul harbi juga berlaku, seperti harta mereka dijadikan ghanimah dan keluarga mereka ditawan. Menjadi kewajiban Imam (khalifah) untuk memerangi mereka, karena Abu Bakar ash shidiq radiyallahu ‘anhu bersama generasi shahabat telah memerangi orang-orang murtad. Juga karena Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir dalam banyak ayat Al Qur’an, sementara orang-orang murtad merupakan orang kafir yang paling berhak diperangi karena tidak memerangi mereka boleh jadi akan menghasung orang-orang kafir semisal mereka untuk melakukan tindakan serupa dan ikut murtad. Dengan demikian, bahayanya semakin bertambah.

Dalam memerangi mereka ; orang yang tertangkap dibunuh, orang yang melarikan diri dikejar, orang yang terluka dibiarkan dengan lukanya dan harta mereka dijadikan ghanimah. Demikianlah pendapat Imam Syafi’i. Imam Abu Hanifah berpendapat negara tersebut tidak menjadi Daarul harbi, sampai terpenuhi tiga syarat, yaitu Pertama ; negara tersebut berbatasan langsung dengan Daarul harbi dan tidak diselingi dengan Daarul Islam. Kedua ; di negara tersebut tidak ada lagi seorang muslim atau kafir dzimmi yang bisa hidup dengan aman, dan Ketiga ; Di negara tersebut berlaku hukum-hukum mereka (kafir). Ibnu Qudamah berkata—Dasar pendapat kami adalah karena negara tersebut dikuasai orang-orang kafir, dan hukum-hukum kafir diberlakukan. Maka negara tersebut menjadi Daarul harbi.” [Al Mughni Ma’a Syarhu Al Kabir 10/95]. Di sini, Imam Ibnu Qudamah menjadikan jenis hukum yang berlaku di sebuah negara sebagai standar penilaian status sebuah negara.

Imam Asy Syarkhasi mengatakan dalam syarah (penjelasan) beliau atas kitab as siyaru al kabiru,”Sebuah negara berubah menjadi negara kaum muslimin dengan dipraktekkannya hukum-hukum Islam.” [As Siyaru al Kabir 5/2197].

Al qadhi Abu Ya’la Al Hanbali mengatakan,” Setiap negara di mana hukum yang dominan (superioritas hukum) adalah hukum-hukum kafir dan bukannya hukum-hukum Islam, adalah Daarul kufri.” [Al Mu’tamadu Fi Ushuli Dien hal. 276, Daarul Masyriq, Beirut, 1974].

Demikian juga yang dikatakan oleh Abdul Qahir Al baghdadi dalam bukunya, Ushulu Dien hal. 270, cetakan 2, Daarul Kutub Al Ilmiyah, Beirut. Syaikh Manshur Al Bahuti mengatakan,” Wajib hijrah bagi orang yang tidak mampu idzharu dien di sebuah Daarul harbi, yaitu negara di mana superioritas hukum adalah hukum-hukum kafir.” [Kasyful Qana’ 3/43].

Manaathul Hukmi (Standar penilaian) status negara

Manaathul Hukmi adalah ‘ilah (alasan). Alasan hukum disebut manaath karena menjadi tempat menggantungkan hukum. Dinamakan juga ‘ilah (alasan hukum) karena berpengaruh dalam tempat tersebut, sebagaimana pengaruh sakit. Jadi, ‘Ilah adalah sifat yang sebuah hukum dikaitkan dengan keberadaan sifat tersebut. Jika sifat tersebut ada, maka hukum pun ada. Bila sifat tersebut tidak ada, maka hukumpun tidak ada. Inilah yang dimaksud dengan perkataan para ulama (al hukmu yaduudru ma’a ‘ilatihi wujudan wa ‘adaman) {ada tidaknya sebuah hukum bergantung kepada ada tidaknya ‘ilah).

Perkataan para ulama di atas telah menyebutkan dua sebab dalam menghukumi sebuah negara :

Pertama. Kekuatan dan dominasi. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan,” Karena sebuah tempat {wilayah) dinisbahkan kepada kita atau kepada mereka berdasar kekuatan dan dominasi.”

Kedua. Jenis hukum yang diberlakukan di tempat tersebut, sebagaimana terdapat dalam semua pendapat ulama yang kami nukil di atas. Setelah diteliti, dua sebab ini ternyata kembalinya kepada satu sebab, yaitu alasan hukum yang berlaku di negara tersebut. Antara dua pendapat ini sebenarnya tidak ada kontradiksi, karena dominasi dan hukum itu dua hal yang berkaitan erat. Orang yang berkuasa (mendominasi) tidak disebut mendominasi kecuali jika ia yang memegang kekuasaan memerintah dan melarang. Perintah dan larangan merupakan bentuk paling penting dari adanya dominasi dan kekuasaan. Penguasa muslim akan menerapkan hukum-hukum Islam, sebab kalau tidak ia bukanlah seorang muslim. Sementara penguasa kafir akan menerapkan hukum kafir. Dengan ini jelaslah, bahwa alasan penamaan sebuah negara adalah jenis hukum yang diberlakukan di negara tersebut, yang menunjukkan siapa yang berkuasa dan mendominasi di negara tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Yusuf dan Muhammad bi Hasan dinukil oleh Imam Syarkhasi :

“ Setiap tempat di mana hukum syirik mendominasi, maka kekuatan di negara tersebut berada di tangan orang-orang musyrik, maka negara tersebut adalah Daarul harbi. Sedang negara manapun di mana yang mendominasi adalah hukum-hukum Islam, maka kekuatan di negara tersebut berada di tangan umat Islam.”

Dalam pembahasan jika orang-orang kafir menguasai Daarul Islam, akan diterangkan bahwa manakala orang-orang kafir menguasai Daarul Islam, sementara hukum-hukum Islam masih tetap diberlakukan di negara tersebut (diistilahkan dengan al istila’ an naqish), negara tersebut tetap menjadi Daarul Islam. Hal ini menunjukkan bahwa alasan penamaan sebuah negara terletak pada faktor hukum-hukum yang diterapkan.

Dengan demikian bisa dipahami bahwa alasan penamaan terletak pada faktor hukum-hukum yang diterapkan di sebuah negara, merupakan sebuah sifat yang sudah tepat untuk menarik kesimpulan, dikarenakan faktor hukumlah (dan bukan penguasa) yang akan menbentuk sebuah negara. Hukum-hukum Islam, dengan berbagai perintah dan larangannya, akan membentuk (mencetak) sebuah negara menjadi negara yang Islami. Demikian juga, hukum-hukum kafir dengan segala perintah, larangan dan permisifismenya akan membentuk (mencetak) sebuah negara menjadi negara kafir yang memperbolehkan murtad, atheisme, menghujat agama tanpa adanya sedikitpun larangan dan hukuman, diperbolehkannya riba, perzinaan, minuman keras, tabaruj (pamer aurat). Ikhtilat (campur baurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram), tidak dihukumnya orang yang tidak sholat, zakat dan shiyam, sebaliknya orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar), apalagi bila dengan tangan (kekuatan), akan mendapat hukuman. Meraja lelanya kondisi seperti ini, dan kondisi-kondisi semisal menunjukkan sifat sebuah Daarul kufri. Maka hukum-hukumlah yang mencetak sebuah negara, bukan penguasanya. Jika seorang penguasa ingin mencetak karakter sebuah negara, ia tidak akan mampu kecuali melalui seperangkat perintah dan larangan. Itulah faktor hukum, yang terdiri dari perintah, larangan dan pembolehan, sementara penguasa adalah orang yang menjalankannya dengan menggunakan kekuasaan di tangannya.

Di antara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa alasan penamaan sebuah negara adalah faktor hukum, yang mencerminkan pihak yang berkuasa di negara tersebut, adalah:

• firman Allah Ta’ala :

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu”. (QS. An Nisa’ :97)

Kondisi orang mukmin sebagai orang yang tertindas di sebuah negara, menunjukkan bahwa dominasi di negara tersebut berada di tangan orang-orang kafir.

Penisbahan dalam kata”qaryatina” menunjukkan kepemilikan, artinya kota orang-orang kafir yang menyombongkan diri. Kepemilikan dan penguasaan mereka terhadap kota itu ditunjukkan oleh ancaman mereka kepada orang-orang mukmin dengan pengusiran dari kota tersebut. Ini menunjukkan bahwa merekalah pemegang perintah dan larangan. Ini menunjukkan bahwa Daarul kufri adalah negara di mana kekuasaan berada di tangan orang-orang kafir, serta perintah dan larangan berada di tangan orang-orang kafir. Perintah dan larangan adalah hukum-hukum, dan pertanda kekuasaan serta dominasi. Ayat yang senada dengan ayat ini adalah firman Allah Ta’ala :

Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka: “Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami”. Maka Rabb mewahyukan kepada mereka : “Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu (QS. Ibrahim : 13)

Makna ayat ini seperti makna ayat sebelumnya. Semua ayat ini menunjukkan bahwa Daarul kufri adalah negara di mana kekuasaan dan hukum-hukum berada di tangan orang-orang kafir.

Rasulullah bersabda setelah fathu Makkah :

(لاهجرة بعد الفتـح)

Artinya : “Tidak ada hijrah setelah penaklukan Makkah.” Muttafaq ‘alaihi

Sebelumnya hijrah dari Makkah hukumnya wajib karena saat itu Makkah masih Daarul kufri, namun dengan terjadinya penaklukan Makkah, statusnya berubah menjadi Daarul Islam sehingga kewajiban hijrah dari Makkah gugur. Perubahan yang terjadi dengan adanya penaklukan Makkah yang diikuti dengan perubahan hukum yang berlaku di Makkah, adalah perubahan tangan yang berkuasa di Makkah, dari tangan orang-orang kafir ke tangan orang-orang Islam. Perubahan ini diikuti dengan perubahan hukum yang berlaku di Makkah. Hal ini menunjukkan bahwa sebab penamaan sebuah negara tergantung kepada penguasa dan hukum-hukum yang diberlakukan. Karena sesungguhnya seorang kafir akan memerintah dengan hukum-hukum kafir, orang-orang Islam akan memerintah dengan hukum Islam. Kalau seorang muslim tidak memerintah dengan hukum Islam, maka ia telah kafir. Dalam menerangkan alasan status sebuah negara ini, Imam Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan,” Karena sebuah negara dinisbahkan kepada pihak yang mendominasi, menguasai dan memiliki negara tersebut.” [Al Muhalla 11/200]. Inilah alasan penamaan sebuah negara.

Tanqihul Manaath atas sebuah negara

Syaikh Muhammad Amin Assy Syanqithi mengatakan ; Secara tinjauan bahasa, tanqih berarti menapis dan memurnikan. Tanqihul manaath berarti menyeleksi ‘ilah (alasan hukum) dan membersihkannya dengan cara membuang apa yang tidak bisa dijadikan ‘ilah sebuah hukum, dan menerima ‘ilah yang benar-benar bisa dijadikan ‘ilah sebuah hukum.” [Mudzakiratu Ushulil Fiqhi hal. 292].

Dalam hal ini, sebagian pihak telah salah ketika mereka mengira bahwa menetapnya banyak umat Islam di beberapa negara dengan aman dan mampu melaksanakan beberapa syiar agama mereka, seperti adzan, sholat, shaum dan lain-lain, sudah cukup untuk menganggap negara tersebut sebagai negara Islam. Bahkan sebagian pihak menyatakan , bagaimana kalian mengatakan negara fulan adalah negara kafir, padahal di ibukotanya ada lebih dari seribu masjid ? Ini semua jelas bukan standar dalam menilai status sebuah negara, sebagaimana telah kami jelaskan di atas bahwa standar untuk menilai sebuah negara terletak pada faktor pihak yang berkuasa dan hukum-hukum yang diberlakukan. Sifat-sifat lain bukanlah sebagai standar dalam menilai status sebuah negara. Di antara sifat-sifat lain yang harus dibuang dalam kasus ini sebagai bentuk dari tanqihul manaath , adalah sebagai berikut :

1. Agama mayoritas warga negara tidak berpengaruh terhadap status sebuah negara

Dasarnya adalah Khaibar yang ditinggali oleh kaum Yahudi. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menaklukkannya pada tahun 7 H, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menyetujui kaum Yahudi tetap tinggal di Khaibar dan menggarap lahan pertaniannya (hadits Bukhari no. 4248), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam lalu mengutus seorang shahabat Anshar sebagai amir (penguasa) Khaibar {hadits Bukhari no. 4246). Jadi, sebagian besar warga negara Khaibar adalah kaum Yahudi, sampai ketika Umar bin Khathab mengusir mereka pada masa kekhilafahannya , meski demikian hal ini tidak menghalangi status Khaibar sebagai sebuah negara Islam, karena Khaibar berada di bawah kekuasaan kaum muslimin dan hukum-hukum Islam diberlakukan di Khaibar.

Dalam hal ini, Imam Ibnu Hazm menyatakan ; Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam

أنا بريء من كل مسلم أقام بين أظهر المشركين

Artinya : “Saya berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah orang-orang musyrik”

Menjelaskan pendapat kami ini. Maksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dari hadits ini adalah Daarul harbi. Karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam telah mengangkat para pejabat beliau (anshar) untuk daerah Khaibar, padahal seluruh warga negaranya adalah kaum Yahudi. Jika sebuah negara ditinggali oleh ahlu dzimah semata, tidak ada selain mereka (kaum muslimin) yang hidup bersama mereka, maka apabila ada orang Islam yang tinggal di tengah mereka untuk menjalankan pemerintahan atau berdagang, ia tidak disebut sebagai orang kafir atau orang Islam yang berbuat kesalahan, melainkan ia adalah seorang muslim yang berbuat baik. Negara tersebut adalah negara Islam, bukan negara syirik, karena sebuah negara itu hanya dinisbahkan kepada pihak yang berkuasa dan memerintahnya.” [Al Muhalla 11/200]. Abul Qasim Ar Rafi’i Asy Syafi’i mengatakan,” Bukanlah syarat sebuah negara sebagai negara Islam itu hendaknya di dalamnya ada kaum muslimin, melainkan cukup dengan keberadaan negara tersebut berada di bawah pemerintahan penguasa muslim.” [Fathul Aziz Syarhu Al Wajiz 8/14].

2. Pelaksanaan sebagian syiar-syiar Islam atau syiar-syiar kafir tidak berpengaruh terhadap status sebuah negara

Ketika masih di Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sudah melaksanakan Dien secara terang-terangan. Beliau mendakwahkan Islam, menampakkan secara terang-terangan permusuhan dan berlepas dirinya beliau dari orang-orang musyrik dan apa yang mereka ibadahi. Sebagian shahabat juga melaksanakan sholat dan membaca Al Qur’an secara terang-terangan. Meski demikian, Makkah tidak berubah statusnya menjadi sebuah negara Islam. Kaum muslimin bahkan berhijrah dari Makkah karena kekuasaan di Makkah berada di tangan orag-orang kafir. Dari sini, jelaslah kesalahan pendapat Imam Al-Mawardi yang mengatakan ; (Jika mampu melaksanakan secara terang-terangan ajaran dien di sebuah negara orang-orang kafir, maka negara tersebut berubah statusnya menjadi negara Islam. Menetap di negara tersebut lebih utama dari berpindah darinya, karena diharapkan penduduk lain akan ikut masuk Islam) [Fathul Baari 7/229]. Imam Asy Syaukani menukil pendapat ini lantas mengkritiknya (Pendapat ini jelas bertentangan dengan hadits-hadits yang mengharamkan menetap di sebuah negara kafir) [Nailul Authar 8/178].

Demikian juga sebaliknya. Adanya beberapa orang kafir –seperti ahlu dzimah—di sebuah negara Islam dan mereka melaksanakan ajaran-ajaran agama mereka secara terang-terangan, tidaklah mengubah status negara menjadi negara kafir, karena pelaksanaan ajaran-ajaran agama kafir mereka secara terang-terangan bukan berasal dari kekuasaan mereka, melainkan dari izin kaum muslimin.

Dengan demikian, pelaksanaan syiar-syiar agama secara terang-terangan tidak berpengaruh atas status sebuah negara. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy Syaukani ; (Standarnya adalah kebijakan pemerintahan. Jika perintah dan larangan di negara tersebut berada di tangan umat Islam, di mana orang-orang kafir tidak bisa menampakkan ajaran-ajaran kekafiran mereka kecuali setelah mendapat izin dari kaum muslimin, maka negara tersebut adalah negara Islam. Adanya pelaksanaan ajaran-ajaran kekafiran secara terang-terangan di negara tersebut sama sekali tidak berpengaruh, karena hal itu dilaksanakan bukan berawal dari kekuatan orang-orang kafir, juga bukan dari berkuasanya mereka, sebagaimana hal ini bisa disaksikan pada Ahlu dzimmah Yahudi dan Nasrani, serta ahlu ‘ahdi yang tinggal di kota-kota kaum muslimin. Hukum ini juga berlaku sebaliknya]. [As Sailu Al-Jarrar 4/575].

3. Keamanan yang dirasakan oleh sebagian warga negara tidak berpengaruh atas status sebuah negara

Orang-orang kafir ahlu dzimmah bisa hidup dengan aman di negara Islam, namun hal ini tidak merubah status negara Islam tersebut. Kaum muslimin yang berhijrah ke Habasyah bisa menetap dengan aman, namun hal ini tidak merubah status negara kafir Habasyah menjadi negara Islam. Pada rentang waktu perjanjian damai Rasulullah dengan orang-orang kafir Makkah (perjanjian Hudaibiyah sampai penaklukan Makkah), kaum muslimin juga menetap dengan aman di Makkah, sehingga mereka bisa melaksanakan umrah qadha’. Keamanan ini tidak merubah status negara Makkah dari negara kafir menjadi negara Islam. Sampai akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam menaklukkannya. Beliau bersabda : (Tidak ada hijrah setelah penaklukan Makkah). Beliau tidak bersabda (Tidak ada hijrah setelah perjanjian Hudaibiyah). Hadits ini menerangkan bahwa standar penilaian status sebuah negara adalah kekuasaan, bukan sekedar keamanan.

Demikianlah pembahasan tentang tanqihul manaath dan pengetahuan tentang standar penilaian status sebuah negara. Dari sini anda mengetahui bahwa pada hari ini, negara-negara dengan mayoritas penduduk kaum muslimin namun diperintah oleh pemerintahan murtad yang menerapkan undang-undang positif kafir, adalah negara-negara kafir sekalipun mayoritas warga negaranya adalah kaum muslimin yang bisa melaksanakan syiar-syiar Islam seperti sholat Jum’at, sholat berjama’ah dan lainnya dengan aman. Negara-negara tersebut adalah negara kafir karena kekuasaan berada di tangan orang-orang kafir dan undang-undang yang berlaku adalah undang-undang kafir. Kaum muslimin bisa melaksanakan sebagian syiar-syiar mereka, bukan karena mereka berkuasa, melainkan karena diizinkan oleh penguasa kafir. Jika penguasa kafir tersebut ingin merubah keamanan menjadi ketakutan dan fitnah lewat kekuasaan dan tentaranya, tentulah penguasa kafir tersebut (dengan mudah) bisa melakukannya, seperti realita yang hari ini di banyak negara dengan mengatasnamakan perang melawan terorisme dan kaum fundamentalis.

Cabang-cabang Pembagian negara kafir

Negara kafir dibagi dalam beberapa bagian, menurut berbagai tinjauan. Nama yang disepakati adalah negara kafir atau negara syirik. Pembagiannya sebagai berikut :

  1. Dilihat dari sudut pandang apakah kekafiran terjadi sejak awal atau belakangan, menjadi ;

• Negara kafir asli ; yaitu negara yang sebelumnya bekun pernah dikuasai oleh Islam, seperti Jepang, China Timur, Inggris, Amerika Utara, Amerika Selatan dan Australia.

• Negara kafir insidental ; yaitu negara yang dalam suatu masa pernah menjadi negara Islam, namun kemudian dikuasai oleh orang-orang kafir. Seperti Andalusia (spanyol dan Portugal hari ini), Palestina, negara-negara Eropa Timur yang dahulu berada di bawah kekuasaan daulah Utsmaniyah, seperti Rumania, Bulgaria, Yugoslavia (Bosnia, Serbia, Kroasia hari ini), Yunani dan Albania.

• Negara murtad ; bagian dari negara kafir insidental, yaitu negara yang dalam suatu masa pernah menjadi negara Islam lalu dikuasai oleh orang-orang murtad dan mereka memberlakukan hukum-hukum kafir. Seperti negara-negara yang hari ini disebut sebagai negara-negara Islam, termasuk di dalamnya negara-negara arab. Dalam rentang waktu yang lama, mayoritas negara-negara ini adalah negara kafir insidental karena diperintah oleh negara-negara kolonialis salibis yang menerapkan undang-undang kafir, mereka kemudian meninggalkan negara-negara ini dan pemerintahan diteruskan oleh orang-orang murtad dari penduduk pribumi. Ada beberapa perbedaan hukum fiqih antara negara kafir dan negara murtad, disebutkan oleh Al Mawardi dalam (Al Ahkam As Sulthaniyah hal. 57, cetakan Al Halabi). Saya perlu mengingatkan di sini bahwa dalam beberapa buku karangan saya, saya sering menyebut negara-negara seperti ini dengan istilah negara-negara kaum muslimin, dengan melihat kepada mayoritas penduduknya yang merupakan umat Islam. Namun istilah (negara-negara kaum muslimin) ini tidak sama dengan istilah (negara Islam). Negara-negara kaum muslimin tetap adalah negara kafir dan murtad, jihad melawan pemerintahan yang menguasainya adalah fardhu ‘ain bagi kaum muslimin yang menjadi warga negaranya, sebagaimana sering saya sebutkan dalam banyak tempat dalam buku-buku saya.

2. Dari sisi keamanan diri seorang muslim di negara kafir maka Negara kafir terbagi menjadi :

    1. Daarul Amni (negara Aman) yaitu negara yang seorang muslim merasa aman akan dirinya di negara tersebut seperti Habasyah pada awal masa Islam tatkala para shahabat hijrah ke sana demi menghindari kebengisan orang kafir mekkah.

    2. Daarul Fitnah yaitu negara yang seorang muslim tidak merasa aman di sana seperti Mekkah pada masa awal Islam dan seperti sebagian besar negara-negara murtad pada hari ini.





















BAB III

Negara perjanjian (Darul Ahdi)


Darul Ahdi, suatu wilayah yang ditaklukan oleh muslimin, tetapi secara teritorial tidak dikuasai. Penguasa terdahulu dan rakyatnya tetap berkuasa diwilayah itu, mereka tidak pindah berkeyakinan pada Islam, hukum yang berlaku didaerah itupun bukan hukum Islam. Dalam hubungan kenegaraan, negara itu melakukan perjanjian damai dengan Darul Islam dengan segala persyaratan yang ditentukan.


Darul Ahdi oleh para ulama disebut juga Darul Aman. Sebagai imbalan dari keamanan yang diberikan kepada mereka, maka mereka wajib membayar pajak tanah. Darul Ahdi bisa disebut juga dengan negara protektorat (daerah perlindungan) Darul Islam. Tetapi Wahbah Az Zuhaili (seorang ahli fiqih dari Mesir) mengatakan bahwa pajak tanah ini bukanlah sesuatu yang permanen (sebagai syarat). Artinya kewajiban tersebut dapat gugur apabila ada ketentraman lain.


Pemikiran adanya Darul Ahdi didasarkan pada tindakan Nabi Muhammad saw ketika melakukan perjanjian damai dengan warga Nashrani Najran. Saat itu Nabi saw memberikan mereka kebebasan untuk tinggal diwilayah itu dan menjalankan hukum-hukum mereka, dengan ketentuan mereka harus membayar pajak. Ada ulama yang mengatakan bahwa pajak itu sebagai khoroj (pajak tanah) dan ada pula yang menyebutnya jizyah (pajak perorangan).


Hal lain yang mendasari pemikiran adanya Darul ahdi adalah apa yang dilakukan Mu’awiyah bin Abi Sofyan terhadap warga Armenia. Ketika itu Mu’awiyah melakukan perjanjian damai dengan warga Armenia untuk tidak diintervensi, tetapi dengan syarat mereka harus membayar pajak, sementara itu kedaulatan mereka atas wilayah Armenia dan urusan dalam negeri mereka tidak diganggu gugat oleh Armenia.


Daarul ‘Ahdi yaitu negeri yang antara ia dengan negara Islam ada ikatan perjanjian (dengan syarat kompensasi yang diserahkan kepada negara Islam), penjanjian damai atau perjanjian gencatan senjata sebagaimana Mekkah pada tempo antara masa Perjanjian Hudaibiyah sampai Fathu Makkah (6-8H). Dan tidak boleh melakukan perjanjian kepada kuffar untuk damai dan tidak melakukan peperangan melainkan atas dasar melihat kemaslahatan kaum muslimin seperti misalnya kaum muslimin lemah berdasarkan firman Allah Ta’ala :

Artinya : Janganlah kalian merasa lemah dan minta damai padahal kamulah yang diatas dan Allah (pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu. (QS Muhammad : 35)

Hal itu disebabkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kita memerangi Kuffar hingga seluruh Diin hanyalah milik Allah dan Dia tidak mewajibkan kita untuk memberikan perdamaian atau perjanjian kepada mereka kecuali saat kita memerlukannya. Allah Ta’ala berfirman

Artinya : Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( QS. At-Taubah : 5)

Dan Allah Ta’ala berfirman :

Artinya : Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. (QS Al-anfal 39)

Lihat Al Mughni dengan syarh Kabir juz 10/517 dan Sair Kabir oleh Muhammad bin Hasan 5/1689. Tidak boleh melakukan akad hudnah (perjanjian genjatan senjata) kecuali Imam kaum muslimin atau yang mewakilinya. Melihat tidak adanya Imam pada zaman kita ini maka tidak diakui perjanjian perjanjian antar negara maupun internasional apapun yang di teken oleh penguasa -penguasa kafir dikarenakan perjanjian tersebut dikeluarkan oleh pihak yang tidak punya legalitas kekuasaan secara syar’ie atas kaum muslimin. Maka adaanya perjanjian tersebut sama dengan tidak adanya. Sebab apa yang secara hukum tidak ada itu sebagaimana tidak adanya secara substansi.











KESIMPULAN


Negeri Islam tidaklah menjadi Darul Harbi kecuali dengan tiga hal : dengan diberlakukannya hukum-hukum kesyirikan, bersambungnya darul harbi, dan tidak tersisa di dalamnya seorang muslim dan dzimmy yang mendapat jaminan keamanan dari pemerintah Islam. Darul Harbi berubah menjadi Darul Islam dengan diberlakukannya hokum-hukum Islam padanya seperti sholat Jumat dan Ied, meskipun didalamnnya tidak bersambung dengan Darul Islam. (Durrul Mukhtar 4/175)

Sedangkan menurut jumhur (mayoritas) ulama, perubahan Darul Islam menjadi Darul Harbi didasarkan pada hukum yang berlaku didaerah tersebut. Apabila yang berlaku bukan hukum Islam lagi, maka kawasan itu menjadi Darul Harbi. Pendapat tersebut didasarkan pada prinsip bahwa yang menentukan negara itu Islam atau tidak adalah hukum yang berlaku dinegara tersebut.

Sebagaimana seorang muslim memiliki kewajiban untuk melaksanakan syariat Islam ketika berada di negeri kafir, maka orang-orang kafir yang tinggal di negeri Islam (kafir dzimmy) juga memiliki kewajiban untuk mematuhi syariat Islam yang berhubungan dengan mereka. Demikian juga mereka juga punya hak yang harus dipenuhi oleh kaum muslimin serta penjagaan darah mereka.

Contoh konkret Darul Islam saat ini adalah Saudi Arabia, Oman, Yaman, Pakistan, Yaman, Afganistan, Mesir, Indonesia, Malaysia, Libia dan Brunei Darussalam.

Contoh Darul Ahdi yaitu Israel dan Palestina.

Sedangkan contoh Darul Harbi yaitu Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Korea (Utara dan Selatan), RRC, Jepang, Belanda, Australia dan New Zaeland.


















DAFTAR PUSTAKA


Djaelani, Abdul Qadir. 1995. Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam. Surabaya : PT Bina Ilmu offset


Iqbal, Afzal Dr. 1988. Diplomasi Islam (diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia). Jakarta : Pustaka Al-Kautsar


Mulia, Musdah. 2001. Negara Islam : Pemikiran Politik Husain Haikal. Jakarta : Paramadina


Nashir, Haedar Dr. 2007. Gerakan Islam Syariat. Jakarta : PSAP Muhammadiyah


www.vanillamist.com diakses tanggal 29 April 2008


1 komentar:

ANNAS mengatakan...

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu